“Assalamu’alaikum… InsyaAlloh aku akan walimahan bulan depan tanggal 3” jgeeerrrrrr… asli kaget banget waktu baca sms nya,, langsung deh balik nanya, “beneran? Sama cewekmu yang itu?” aku udah sering kena’ kerjain ma anak atu ni,, gak mau di kacangin lagi untuk kesekian kalinya.. akhirnya aku minta tuk dia dating kerumah. Tanpa piker panjang ku langsung nanya ke sahabat yg lainnya. Ternyata aku yg pertama mengetahuinya. Aduh jadi nyebar info yg belum jelas nih,,huhuhuhu…(yg lagi liburan di sidoarjo. Mati aku ditanyanya. hufhh)
Besoknya Ia pun dating, dari senyuman dan tatapan mataku dia sangat mengerti, tanpa aku bertanya kepadanya… hehehehe ternyata benar berita yg di infokannya itu. (tuk Yoga, jadi brenti2lah udah kw ngoceh kayak waktu itu.. ) ujung2nya eh jadi kurir undangan hehhehe,, emang aku bakat banget jadi tukang antar-antar.
Jadi ingat peristiwa2 SMA. Kita ketemu diklas 1 kemudian sekelas hingga kelas 3,, entah gimana awalnya hingga kita bisa jadi sahabatan. Malam itu kami bercanda.mengingat kebodohan masa lalu,, ternyata peristiwa itu udah terlewati hingga kurang lebih 4 tahun. Ternyata kita sudah dewasa,, hahahaii jadi gak sabar nunggu hari H nya, menunggu sahabat,teman,saudara, juga kakak ku melangsungkan pernikahannya. Melaksanakan perintah ALLOH untuk menyempurnakan separoh Agama. Dia sih maunya aku hadir saat akad nikahnya,, hmmm… untukkmu aku akan hadir menyaksikan peristiwa besar di kehidupanmu itu sahabatku. Barakalloh akhi ku turut bahagia untukmu,,
Untuk Sahabatku Abdul Rahman & Kartini
Selumit
Ahad,3 Januari 2010
Kepada Seluruh Anak IPA 2 angkatan 08 yang di Tarakan yuk kita datang rame rame,, Tuk Evi,Yoga,Duwi buruan balik Tarakan hehehhehehhe..
Pages
Rabu, 30 Desember 2009
Happy Married
Diposting oleh
Ftr.Orwiantari
di
23.35
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
20 Desember 2009
Tiba di gedung telat 15 menit. Canda tawa anak2 tk terdengar membahana. Sungguh bahagia sekali mereka. Sampai ditangga udah ngalami hal yang tidak menyenangkan,, hufhh .. tapi ahh sudahlah. Masuk kedalam ada sedikit masalah, Alhamdulillah bias teratasi,, acara pertama hiburan, Sambil melangkah menuju kursii depan ku sunggingkan senyuman kesiapa saja yang kulihat..
smbil sesekali menyapa mereka,,telingaku terus menyimak acara hiburan, hmm sungguh hebat aksi anak2 ini,, lantunan ayat suci Al-Qur’an terurai dari bibir-bibir mungil mereka, aku turut merasakan kebahagiaan ini, namun terasa butiran air jatuh mengalir di hati. Sungguh iri rasanya melihat mereka yang segitu kecil sudah dapat menghafal banyak ayat Al-Qur’an. Ku tepis rasa itu, memcoba menghibur diri. Tak ada kata terlambat untuk belajar,, hehehe Semangat.
Tiba di gedung telat 15 menit. Canda tawa anak2 tk terdengar membahana. Sungguh bahagia sekali mereka. Sampai ditangga udah ngalami hal yang tidak menyenangkan,, hufhh .. tapi ahh sudahlah. Masuk kedalam ada sedikit masalah, Alhamdulillah bias teratasi,, acara pertama hiburan, Sambil melangkah menuju kursii depan ku sunggingkan senyuman kesiapa saja yang kulihat..
smbil sesekali menyapa mereka,,telingaku terus menyimak acara hiburan, hmm sungguh hebat aksi anak2 ini,, lantunan ayat suci Al-Qur’an terurai dari bibir-bibir mungil mereka, aku turut merasakan kebahagiaan ini, namun terasa butiran air jatuh mengalir di hati. Sungguh iri rasanya melihat mereka yang segitu kecil sudah dapat menghafal banyak ayat Al-Qur’an. Ku tepis rasa itu, memcoba menghibur diri. Tak ada kata terlambat untuk belajar,, hehehe Semangat.
Diposting oleh
Ftr.Orwiantari
di
23.02
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Jumat, 18 Desember 2009
إن الصبر جميل
Lalu terbentur di titik itu
HIngga "mengapa"tergantikan "ternyata"
Jadilah ia lembaran-lembaran kisah
Ruang belajar dari kesalahan
Duhai Rabbku,
Yang hatiku berada diantara dua jemari-Mu
Sungguh terpaksa kesabaran ini
Semoga masa membuatku terbiasa
Hingga Engkau mudahkan ia menjadi tabiat
Agar menempatkanku dalam halaqah mereka
Yang dalam setiap detik hidupnya
Indah dalam kebersamaan-Mu
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar" (Al-Anfal : 46)
Created by Langit Senja from Facebook
Diposting oleh
Ftr.Orwiantari
di
17.23
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Puisi
Senja Saat Kusendiri
Menjejak senja dalam kesendirian
Terangkum di keheningan
Tepiskan bayang yang meringkuk di sudut hati
Bola raksasa itu tak lagi garang
Semburat merah lembutkan perih
Sisakan aroma syahdu menggantung di udara
Adalah senja setiap kali datang
Berikan pesona yang terpahat kuat
Halaukan resah dengan sebait puisi manis
Selalu saja ada senyum
Ketika mentari mulai meredup
Benarlah,keindahan miliknya takkan terelakkan
Meski hati di penuhi huru hara
Created by Langit Senja from Facebook
Diposting oleh
Ftr.Orwiantari
di
17.18
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Puisi
Menunggu Senja
Setiap kita pasti pernah melintasi dermaga kala fajar maupun senja.
Seperti juga lelaki dengan hati yang tinggal separuh.
Lelaki itu akhirnya pergi meninggalkan dermaga saat senja.
Ia memutuskan untuk pergi, bukan karena ia tidak menyukai senja yang nampak lucu dengan goresan-goresan oranye keemasan.
Tetapi ia tahu bahwa akan ada malam yang akan membungkus senja dengan hitam dalam satu sapuan manis.
Dan lelaki itu tak lagi ingin terperangkap oleh gelap untuk ke sekian kalinya, sendirian.
Lelaki itu melangkah pergi kemudian berlari ketika birunya langit sedang dirobek.
Ketika goresan-goresan oranye sedang dicabik oleh kelamnya malam.
Ia berlari berlindung dari hitamnya malam.
Dari kelam yang dapat menjatuhkannya ke dalam lubang hitam.
Dari hitam yang pasti menikam jiwanya pelan-pelan.
Kepergian lelaki itu bukanlah secara tiba-tiba.
Bahkan ia telah menunggu senja ini sejak lama.
Dan ketika senja yang ditunggunya itu akhirnya datang, ia pun tersenyum bahagia.
Ia pikir, senja yang dilihatnya kali ini akan bertahan selamanya.
Tetapi senja yang dilihatnya bukanlah senja yang selalu setia dengan gurat-gurat jingga keemasan.
Ternyata senja ini juga menurunkan gelap. Menurunkan hitam. Menurunkan kelam.
Tidak aneh ketika lelaki itu memutuskan untuk meninggalkan senja.
Ia tahu sang hitam akan menyelimutinya dalam kepedihan yang berkepanjangan.
Sekali ia terjatuh dalam lubang hitam, sulit baginya untuk memanjat keluar.
Karena itu ia terus berlari, membiarkan rintikan hujan meluluhkan semua asa yang terpancar dari bola matanya.
Bagaimanapun, lelaki itu tidak pernah menyesal telah menyapa senja.
Ia pernah menyaksikan guratan senyuman senja yang keemasan dari atas dermaga.
Tentu, lelaki itu masih percaya bahwa akan ada senja yang mampu tinggal selamanya.
Tetapi untuk sementara waktu, lelaki itu tak ingin memandangi senja.
Terlalu menyakitkan baginya menanti senja yang menyembunyikan tikaman malam.
Jadi, lelaki itu mengumpulkan semua sisa-sisa senja yang ada dan menenggelamkannya ke dalam lautan.
Biarlah senja itu menguap bersama lautan, kemudian turun lagi bersama hujan.
Tetapi, suatu hari lelaki itu pasti akan kembali untuk melihat senja.
Dan ketika lelaki itu tengah memandangi senja, detik seakan-akan berhenti, dan senja akan bertahan selamanya.
Created by Langit Senja from Facebook
Diposting oleh
Ftr.Orwiantari
di
17.06
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Puisi
Selasa, 15 Desember 2009
Mesti Gimana
"kok sedih?,gak biasanya kamu seperti ini dik?"
"eh.." ia tersadar " ia kah k'?"
" biasanya lw ketemu kamu tuh,, selalu tersenyum"
" ah perasaan kk aja tuh?" ia mulai mengalihkan pembicaraan.
tak banyak yang tau kesedihannya, ia selalu terlihat bahagia. Terkadang terlihat sedikit sibuk,mengerutkan dahi tanda ia sedang berfikir keras. matanya melirik sana sini sambil berjalan melihat orang2 mungkin ada yang melihatnya dan ia akan langsung menyungingkan senyum walaupun ia tidak mengenal orang tersebut.
tapi tak banyak yang tau keadaan sebenarnya,bahkan aku pun tak tau. orang hanya bisa mencibirnya ketika ia melakukan sedikit kesalahan. orang orang hanya mengatakan kamu Salah. tanpa bertanya mengapa? tanpa tau bagaimana keadaannya.
Dunia seakan menuntutmu untuk berlaku sempurna. tanpa perduli bagaimana keadaanmu. Ku tau keinginanmu untuk selalu membahagiakan orang lain,, walaupun ku tau, jauh di hatimu engkau sungguh tersiksa. engkau selalu mengatakan " gpp, karna dia temanku". ya, tapi apakah harus dengan mengorbankan hati mu kawan? tidak.engkau pantas bahagia. bahagia dalam arti yang sebenarnya.
sungguh ku ingin mengurangi kesedihanmu kawan. bagilah kisahmu kepadaku walaupun sedikit. jika itu mampu membuatmu tersenyum.
kupersembahkan tulisan ini untuk mereka yang senasip denganmu,,
"eh.." ia tersadar " ia kah k'?"
" biasanya lw ketemu kamu tuh,, selalu tersenyum"
" ah perasaan kk aja tuh?" ia mulai mengalihkan pembicaraan.
tak banyak yang tau kesedihannya, ia selalu terlihat bahagia. Terkadang terlihat sedikit sibuk,mengerutkan dahi tanda ia sedang berfikir keras. matanya melirik sana sini sambil berjalan melihat orang2 mungkin ada yang melihatnya dan ia akan langsung menyungingkan senyum walaupun ia tidak mengenal orang tersebut.
tapi tak banyak yang tau keadaan sebenarnya,bahkan aku pun tak tau. orang hanya bisa mencibirnya ketika ia melakukan sedikit kesalahan. orang orang hanya mengatakan kamu Salah. tanpa bertanya mengapa? tanpa tau bagaimana keadaannya.
Dunia seakan menuntutmu untuk berlaku sempurna. tanpa perduli bagaimana keadaanmu. Ku tau keinginanmu untuk selalu membahagiakan orang lain,, walaupun ku tau, jauh di hatimu engkau sungguh tersiksa. engkau selalu mengatakan " gpp, karna dia temanku". ya, tapi apakah harus dengan mengorbankan hati mu kawan? tidak.engkau pantas bahagia. bahagia dalam arti yang sebenarnya.
sungguh ku ingin mengurangi kesedihanmu kawan. bagilah kisahmu kepadaku walaupun sedikit. jika itu mampu membuatmu tersenyum.
kupersembahkan tulisan ini untuk mereka yang senasip denganmu,,
Diposting oleh
Ftr.Orwiantari
di
20.33
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Kisah
Jumat, 04 Desember 2009
P E R I H
Wajah itu terlihat selalu ceria,,canda selalu menghiasi harinya.
namun pagi ini tak kulihat keceriaan itu. kemana hilangnya senyuman itu,
tiada sapaan yang biasa ku dengar saat kita berpapasan..
saat kusendiri engkau menghampiriku,, dengan lemah engkau menyapaku.
ada apa gerangan? apa yang telah merubahmu? engkaku sungguh berbeda..
tak kuasa ku menahan segala tanya. Seperti disambar petir ku dengar,,seseorang telah menyakitimu dengan kejamnya..bahkan yang melakukan itu orang yang seharusnya melindungimu.. ya Alloh,,Perih hatiku mendengar dan melihatnya. Namun kuhanya bisa terdiam tanpa dapat melakukan apapun,,maafkan aku.
Tak kukira engkau menyimpan kepedihan yang begitu dalam,
Kembalilah tersenyum kawan, Hiasi dunia ini dengan keceriaanmu.Tunjukkan kamu mampu berdiri sendiri tanpanya,, walaupun kau tak mungkin terlepas darinya.. :)
namun pagi ini tak kulihat keceriaan itu. kemana hilangnya senyuman itu,
tiada sapaan yang biasa ku dengar saat kita berpapasan..
saat kusendiri engkau menghampiriku,, dengan lemah engkau menyapaku.
ada apa gerangan? apa yang telah merubahmu? engkaku sungguh berbeda..
tak kuasa ku menahan segala tanya. Seperti disambar petir ku dengar,,seseorang telah menyakitimu dengan kejamnya..bahkan yang melakukan itu orang yang seharusnya melindungimu.. ya Alloh,,Perih hatiku mendengar dan melihatnya. Namun kuhanya bisa terdiam tanpa dapat melakukan apapun,,maafkan aku.
Tak kukira engkau menyimpan kepedihan yang begitu dalam,
Kembalilah tersenyum kawan, Hiasi dunia ini dengan keceriaanmu.Tunjukkan kamu mampu berdiri sendiri tanpanya,, walaupun kau tak mungkin terlepas darinya.. :)
Diposting oleh
Ftr.Orwiantari
di
16.50
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Kisah
Kamis, 11 Juni 2009
Ibu, Ketika Hatinya Mulai Berbisik
Ibu! Nama yang tidak lepas dapat dilepaskan dalam kotak memori setiap insane. Pertarungan nyawa dan ketabahan menahan kesakitan mengandung, melahir dan membasarkan anak-anak bukanlah perkara asing dalam catatan diari hidup seorang ibu. Ghalibnya itulah tugas yang tercatat sebagai seorang ibu yang benar-benar berfungsi dalam mendidik anak-anak. Benarkah?
Air mata, kelembutan, kasih sayang dan teman dimasa susah atau senang adalah sebuah nukilan khas yang boleh saya dedikasikan oleh ibu saya. Malah hemat saya juga tersemat utuh menyatakan semua ibu didunia ini punya rasa yang sama. ‘Atifah dan naluri keibuan ini adalah sunnatullah yang tercipta bermula daripada Hawa AS.
DULU, KISAH SEBUAH MEMORI
Masih tersemat utuh dalam ingatan saya betapa Ibu saya cukup mudah mengalir air mata. Semasa saya atau adik saya dirotan Ayah, Ibulah selalunya akan membela dengan aliran air mata.
Semasa kakak saya yang sulung melangkahkan kaki mengikuti suami selepas majlis akad dilangsungkan, Ibu saya menghantarkan dengan linangan air mata.
Masa itu saya cukup bingung kenapa Ibu saya menangis sedangkan kakak saya pergi secara terhormat mengikut suami. Masa itu saya buntu tidak berjawaban...
Rumah menjadikan anal-anak amat rapat dengan Ibu. Masih terbayang di benak saya hingga kini betapa kalutnya Ibu saya setiap pagi menyediakan sarapan sebelum saya dan adik-adik ke sekolah. Padahal saya diantara anak yang cukup susah untuk makan pagi, meski hanya minum. Yang pasti Ibu saya akan membawa minuman hingga ke pintu luar dan akan pastika saya mengambil sarapan walaupun dengan hanya seteguk air.
Masih terngiang kata-kata Ibu bila saya mulai nakal tidak mau bersarapan ‘Minumlah sedikit supaya cerdas di kelas’ atau kadang-kadang Ibu juga membujuk ‘ Tak baik itu, minum sedikit nanti tak berkah belajar’. Mungkin karena takut, saya selalunya akan memaksa diri minum juga walau seteguk walaupun apa yang pasti tabiat saya yang jarang bersarapan melekat hingga kini karena tiada lagi yang memaksa saya bersarapan.
Ketika abang ipar saya melanjutkan kuliah, sejurus kemudian lahir anak sulung menjadikan hidup mereka sekeluarga agak susah. Berbekal gaji yang pas-pasan dari mengajar, tidaklah cukup. Hidup menyewa rumah cukup mahal…, hati saya pilu dan kadang-kadang mata saya juga berkaca.
Pernah saya bergurau pada kakak saya untuk menaruh anak ke 1 di kampong biar diawat Ibu, saat melahirkan anak yang kedua. Reaksi yang saya terima hanyalah linangan air mata tanpa kata. Kakak saya menangis bila ada yang mau memisahkan dia dari anak-anak. Tekadnya biarlah susah macam mana sekalipun asalkan anak-anak tetap bersama.
Pernah suatu ketika seusai melahirkan anak kedua, selama 40 hari kakak saya ke klinik dengan menaiki bus umum bersama 2 anaknya. Yang sulung berumur dua tahun digandeng dan anak kedua yang baru berumur sebulan digendong, menaiki bus untuk ke klinik dalam kesesakan penumpang.
Hai amna yang tidak sedih bila mendengar kabar susah kakak sebegitu. Tidak mampu saya bayangkan betapa susahnya hidup mereka. Namun semua itu diceritakan setelah abang ipar saya tamat kuliah dan sekarang menjadi dosen di universitas dalam bidang Psikologi dan Pendidikan Anak. Sesungguhnya perlu saya iyakan, dibalik kehebatan seorang lelaki rupanya ada jasa insan tabah yang bernama istri.
KINI, KISAH SEBUAH REALITA
Pandangan saya bahwa Ibu saya hanya mampu menangis bila berpisah dengan anak-anaknya rupanya meleset. Saat saya naik ke mimbar untuk menyampaikan ucapan mewakili pelajar Ibu saya tidak menangis. Saat di lapangan terbang ketika mengantar saya ke tanah para nabi, Ibu saya juga tidak menangis.
Masih saya ingat senyuman dan pelukan terakhir tersebut, tidak menunjukkan reaksi sedih malah Ibu saya nampak tenang dan gembira. Apa yang terjadi sebaliknya, saya yang sebak dan mata saya sedikit berkaca sebagaimana Ayah. Lama saya berfikir kenapa Ibu menjadi tegas dan tidak menangis ketika mengantar saya ke Airport. Seminggu selepas itu saya menelepon Ibu saya dan saya langsung bertanya kenapa demikian jadinya. Ibu saya bercerita bahwa sejak 3 tahun sebelumnya beliau mempersiapkan diri menghadapi perpisahan ini… katanya lagi, kini tiada apalagi yang mau disedihkan karena hasratnya untuk melihat saya menjadi seorang berilmu kian nyata.
Ibu saya tidak menaruh harapan yang terlampau tinggi terhadap saya dan kakak-beradik lelaki yang lain dan tidaklah se’standart’ pada pandangan manusia lain. Katanya, beliau sudah puas hati sekiranya anak-anaknya berilmu, mampu menjadi imam di masjid dan mampu berbagi ilmu dengan orang kampung. Pada saya tanggung jawab itu susah dan harapan itu tinggi. Anda bagaimana?
Bila tegas Ibu mulai beraksi, bila hati ibu mula berbisik , tiada lagi deraian air mata dan kasih bertukar harap, tegas muali menutur kata. Kasih perlu dibuktimdan harapan perlu dipenuhi. Moga Alloh mudahkan jalan untuk kita… Salam dedikasi buat para Ibu dan bakal Ibu…
Di Kutip dari Majalah MA
Air mata, kelembutan, kasih sayang dan teman dimasa susah atau senang adalah sebuah nukilan khas yang boleh saya dedikasikan oleh ibu saya. Malah hemat saya juga tersemat utuh menyatakan semua ibu didunia ini punya rasa yang sama. ‘Atifah dan naluri keibuan ini adalah sunnatullah yang tercipta bermula daripada Hawa AS.
DULU, KISAH SEBUAH MEMORI
Masih tersemat utuh dalam ingatan saya betapa Ibu saya cukup mudah mengalir air mata. Semasa saya atau adik saya dirotan Ayah, Ibulah selalunya akan membela dengan aliran air mata.
Semasa kakak saya yang sulung melangkahkan kaki mengikuti suami selepas majlis akad dilangsungkan, Ibu saya menghantarkan dengan linangan air mata.
Masa itu saya cukup bingung kenapa Ibu saya menangis sedangkan kakak saya pergi secara terhormat mengikut suami. Masa itu saya buntu tidak berjawaban...
Rumah menjadikan anal-anak amat rapat dengan Ibu. Masih terbayang di benak saya hingga kini betapa kalutnya Ibu saya setiap pagi menyediakan sarapan sebelum saya dan adik-adik ke sekolah. Padahal saya diantara anak yang cukup susah untuk makan pagi, meski hanya minum. Yang pasti Ibu saya akan membawa minuman hingga ke pintu luar dan akan pastika saya mengambil sarapan walaupun dengan hanya seteguk air.
Masih terngiang kata-kata Ibu bila saya mulai nakal tidak mau bersarapan ‘Minumlah sedikit supaya cerdas di kelas’ atau kadang-kadang Ibu juga membujuk ‘ Tak baik itu, minum sedikit nanti tak berkah belajar’. Mungkin karena takut, saya selalunya akan memaksa diri minum juga walau seteguk walaupun apa yang pasti tabiat saya yang jarang bersarapan melekat hingga kini karena tiada lagi yang memaksa saya bersarapan.
Ketika abang ipar saya melanjutkan kuliah, sejurus kemudian lahir anak sulung menjadikan hidup mereka sekeluarga agak susah. Berbekal gaji yang pas-pasan dari mengajar, tidaklah cukup. Hidup menyewa rumah cukup mahal…, hati saya pilu dan kadang-kadang mata saya juga berkaca.
Pernah saya bergurau pada kakak saya untuk menaruh anak ke 1 di kampong biar diawat Ibu, saat melahirkan anak yang kedua. Reaksi yang saya terima hanyalah linangan air mata tanpa kata. Kakak saya menangis bila ada yang mau memisahkan dia dari anak-anak. Tekadnya biarlah susah macam mana sekalipun asalkan anak-anak tetap bersama.
Pernah suatu ketika seusai melahirkan anak kedua, selama 40 hari kakak saya ke klinik dengan menaiki bus umum bersama 2 anaknya. Yang sulung berumur dua tahun digandeng dan anak kedua yang baru berumur sebulan digendong, menaiki bus untuk ke klinik dalam kesesakan penumpang.
Hai amna yang tidak sedih bila mendengar kabar susah kakak sebegitu. Tidak mampu saya bayangkan betapa susahnya hidup mereka. Namun semua itu diceritakan setelah abang ipar saya tamat kuliah dan sekarang menjadi dosen di universitas dalam bidang Psikologi dan Pendidikan Anak. Sesungguhnya perlu saya iyakan, dibalik kehebatan seorang lelaki rupanya ada jasa insan tabah yang bernama istri.
KINI, KISAH SEBUAH REALITA
Pandangan saya bahwa Ibu saya hanya mampu menangis bila berpisah dengan anak-anaknya rupanya meleset. Saat saya naik ke mimbar untuk menyampaikan ucapan mewakili pelajar Ibu saya tidak menangis. Saat di lapangan terbang ketika mengantar saya ke tanah para nabi, Ibu saya juga tidak menangis.
Masih saya ingat senyuman dan pelukan terakhir tersebut, tidak menunjukkan reaksi sedih malah Ibu saya nampak tenang dan gembira. Apa yang terjadi sebaliknya, saya yang sebak dan mata saya sedikit berkaca sebagaimana Ayah. Lama saya berfikir kenapa Ibu menjadi tegas dan tidak menangis ketika mengantar saya ke Airport. Seminggu selepas itu saya menelepon Ibu saya dan saya langsung bertanya kenapa demikian jadinya. Ibu saya bercerita bahwa sejak 3 tahun sebelumnya beliau mempersiapkan diri menghadapi perpisahan ini… katanya lagi, kini tiada apalagi yang mau disedihkan karena hasratnya untuk melihat saya menjadi seorang berilmu kian nyata.
Ibu saya tidak menaruh harapan yang terlampau tinggi terhadap saya dan kakak-beradik lelaki yang lain dan tidaklah se’standart’ pada pandangan manusia lain. Katanya, beliau sudah puas hati sekiranya anak-anaknya berilmu, mampu menjadi imam di masjid dan mampu berbagi ilmu dengan orang kampung. Pada saya tanggung jawab itu susah dan harapan itu tinggi. Anda bagaimana?
Bila tegas Ibu mulai beraksi, bila hati ibu mula berbisik , tiada lagi deraian air mata dan kasih bertukar harap, tegas muali menutur kata. Kasih perlu dibuktimdan harapan perlu dipenuhi. Moga Alloh mudahkan jalan untuk kita… Salam dedikasi buat para Ibu dan bakal Ibu…
Di Kutip dari Majalah MA
Diposting oleh
Ftr.Orwiantari
di
07.33
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Ayah, Ketika Matanya Mulai Berkaca
DULU, KISAH SEBUAH MEMORI
Ayah! Nama yang cukup sinonim dengan ketegasan, kegarangan, keseriusan dan kemauan yang amat tinggi untuk melihat semua arahannya dipatuhi.
Saya juga tidak terlepas daripada semua itu hingga menyebabkan suatu masa saya amat tidak berpuas hati dengan undang-undang ‘mesti patuh dengan apa yang diarahkan tanpa kompromi’. Biasalah idealis jiwa remaja menyebabkan perasaan memberontak bila dipaksa.
Membesar dikampung menjadikan saya amat terbiasa dengan semua jenis permainan kotor. Sungai, hutan dan lumpur bagaikan sinonim dengan anak-anak kampong. Namun apa yang berlaku pada saya dan adik-beradik adalah sebaliknya.
Dunia kami hanyalah buku, rumah dan halaman rumah saja.sesekali kami dihalau ke surau dan apa yang paling meletihkan apabila kami adik-beradik sedari umur 5 tahun dipaksa untuk mengikuti pengajian Al-Quran tepat selepas dhuhur dan kelas pengajian ‘Fardhu Ain’ ...
pada waktu malam selepas maghrib di rumah guru yang berlainan. Kakak saya khatam Al-Quran umur 8 tahun. Semuanya menyiksa waktu itu.
Mesih terngiang di telinga saya bunyi libasan rotan Ayah apabila nampak saja saya atau adik lelaki saya yang hanya beda 2 tahun ke sungai atau bila kami coba protes karena penat dan membolos mengaji Al-Quran. Semuanya amat menyiksa jiwa kanak-kanak saya dan adik lantaran hidup terikat.
Terkadang hati saya dongkol terhadap ketegasan Ayah. Kadang saya curi waktu keluar mandi di sungai tanpa pengetahuan Ayah bersama kawan-kawan. Hati kanak-kanak mana yang tidak tertarik bila melihat kawan-kawan alin bebas berkubang di sungai selama yang mereka mau tanpa disekat.
Seingat saya, usai berkubang di sungai saya akan berjemur mengeringkan pakaian dan yang paling penting harus elakkan bertemu Ayah 3 atau 4 jam selepas mandi untuk menghilangkan mata merah tanda mandi di sungai.
Namun seingat saya, tetap saja terkadang membolos mengaji walau kadang-kadang kena rotan dengan guru Al-Qur’an. Yang tersemat hingga kini dalam ingatan saya ialah ‘lihat mata ini’ sambil rotan tepat menunjuk ke anak mata.
Saat itu Tuhan saja yang tahu betapa kecutnya hati dan takutnya hingga yang pasti saya akan menangis tanpa suara dan terus membaca dalam nada terisak-isak. Mata berkaca tapi takut mau mengeluarkan suara dan apa yang pasti saya tidak akan dipujuk.
Indahnya kenangan itu..
Masa itu saya melihat dari kaca mata kanak-kanak. Geram dan tidak puas hati, namun semuanya saya telan juga lantaran rasa hormat dan takut pada Ayah amat menebal.
KINI, KISAH SEBUAH REALITA
Ketegasan Ayah saya teruji dengan kedewasaan kami adik-beradik. Dalam umur yang menginjak umur ‘subsidi’ ketegasannya kian bertukar penyayang dan sensitive.
Kali pertama saya menyaksikan mata Ayah mulai berkaca apabila saya naik mimbar menyampaikanucapan mewakili pelajar. Sengaja saya tidak memberitahu bahwa saya ditunjuk menyampaikan ucapan tersebut.
Pada diri saya, ditunjuk mewakili pelajar menyampaikan ucapan tidak mengandung arti apa-apa dalam catatan pribadi lantaran saya sebenarnya anti protocol, anti majlis keramaian, anti protokoler dan ‘anti riya’. Pada saya apalah penghargaan kalau dibandingkan dengan hakikat ilmu yang ada. Malulah diri ini.
Lantaran terkejut mungkin, apabila saya berucap dipentas, mata Ayah berkaca. Kata peman saya yang hadir juga saat itu “ Paman tengok Ayah kamu menangis saat kamu berucap tadi dan paman pun menangis juga”.
Saya seakan tidak percaya lelaki yang amat tegas dalam mengekang kebebasan social hidup saya menangis dengan kejayaan kecil itu, padahal saya sebenarnya ingkar dengan kehendak Ayah saya yang tidak membenarkan saya belajar ilmu agama ketanah para nabi. Saat itu Ayah menyuruhku belajar di universitas dalam negeri.Kini ketegasan berubah harapan. Harapan untuk melihat ‘anak malang yang terdidik liku hidup pahit yang panjang in, mampu pulang dengan ilmu sahih dan mampukah dijuluk ulama?’.
Bila mata ayah berkaca, rasa sebak memenuhi dada dan hati pilu tidak terkata. Harapan perlu dipenuhi, impian perlu diwujud dan janji pasti akan ditagih. Moga Alloh berikan kita kekuatan, ketabahan, dan laluan mudah dengan rahmat dan inayahNya dalam menempuh hidup.
Saya yakin anda juga punya Ayah. Ayah anda bagaimana? Itu tidak penting tapi yang pasti Ayah kita semua sama berharap dan impian yang sama untuk melihat kita Berjaya dan mampu berfungsi di lapangan ummah.
Dikutip dari Majalah MA
Ayah! Nama yang cukup sinonim dengan ketegasan, kegarangan, keseriusan dan kemauan yang amat tinggi untuk melihat semua arahannya dipatuhi.
Saya juga tidak terlepas daripada semua itu hingga menyebabkan suatu masa saya amat tidak berpuas hati dengan undang-undang ‘mesti patuh dengan apa yang diarahkan tanpa kompromi’. Biasalah idealis jiwa remaja menyebabkan perasaan memberontak bila dipaksa.
Membesar dikampung menjadikan saya amat terbiasa dengan semua jenis permainan kotor. Sungai, hutan dan lumpur bagaikan sinonim dengan anak-anak kampong. Namun apa yang berlaku pada saya dan adik-beradik adalah sebaliknya.
Dunia kami hanyalah buku, rumah dan halaman rumah saja.sesekali kami dihalau ke surau dan apa yang paling meletihkan apabila kami adik-beradik sedari umur 5 tahun dipaksa untuk mengikuti pengajian Al-Quran tepat selepas dhuhur dan kelas pengajian ‘Fardhu Ain’ ...
pada waktu malam selepas maghrib di rumah guru yang berlainan. Kakak saya khatam Al-Quran umur 8 tahun. Semuanya menyiksa waktu itu.
Mesih terngiang di telinga saya bunyi libasan rotan Ayah apabila nampak saja saya atau adik lelaki saya yang hanya beda 2 tahun ke sungai atau bila kami coba protes karena penat dan membolos mengaji Al-Quran. Semuanya amat menyiksa jiwa kanak-kanak saya dan adik lantaran hidup terikat.
Terkadang hati saya dongkol terhadap ketegasan Ayah. Kadang saya curi waktu keluar mandi di sungai tanpa pengetahuan Ayah bersama kawan-kawan. Hati kanak-kanak mana yang tidak tertarik bila melihat kawan-kawan alin bebas berkubang di sungai selama yang mereka mau tanpa disekat.
Seingat saya, usai berkubang di sungai saya akan berjemur mengeringkan pakaian dan yang paling penting harus elakkan bertemu Ayah 3 atau 4 jam selepas mandi untuk menghilangkan mata merah tanda mandi di sungai.
Namun seingat saya, tetap saja terkadang membolos mengaji walau kadang-kadang kena rotan dengan guru Al-Qur’an. Yang tersemat hingga kini dalam ingatan saya ialah ‘lihat mata ini’ sambil rotan tepat menunjuk ke anak mata.
Saat itu Tuhan saja yang tahu betapa kecutnya hati dan takutnya hingga yang pasti saya akan menangis tanpa suara dan terus membaca dalam nada terisak-isak. Mata berkaca tapi takut mau mengeluarkan suara dan apa yang pasti saya tidak akan dipujuk.
Indahnya kenangan itu..
Masa itu saya melihat dari kaca mata kanak-kanak. Geram dan tidak puas hati, namun semuanya saya telan juga lantaran rasa hormat dan takut pada Ayah amat menebal.
KINI, KISAH SEBUAH REALITA
Ketegasan Ayah saya teruji dengan kedewasaan kami adik-beradik. Dalam umur yang menginjak umur ‘subsidi’ ketegasannya kian bertukar penyayang dan sensitive.
Kali pertama saya menyaksikan mata Ayah mulai berkaca apabila saya naik mimbar menyampaikanucapan mewakili pelajar. Sengaja saya tidak memberitahu bahwa saya ditunjuk menyampaikan ucapan tersebut.
Pada diri saya, ditunjuk mewakili pelajar menyampaikan ucapan tidak mengandung arti apa-apa dalam catatan pribadi lantaran saya sebenarnya anti protocol, anti majlis keramaian, anti protokoler dan ‘anti riya’. Pada saya apalah penghargaan kalau dibandingkan dengan hakikat ilmu yang ada. Malulah diri ini.
Lantaran terkejut mungkin, apabila saya berucap dipentas, mata Ayah berkaca. Kata peman saya yang hadir juga saat itu “ Paman tengok Ayah kamu menangis saat kamu berucap tadi dan paman pun menangis juga”.
Saya seakan tidak percaya lelaki yang amat tegas dalam mengekang kebebasan social hidup saya menangis dengan kejayaan kecil itu, padahal saya sebenarnya ingkar dengan kehendak Ayah saya yang tidak membenarkan saya belajar ilmu agama ketanah para nabi. Saat itu Ayah menyuruhku belajar di universitas dalam negeri.Kini ketegasan berubah harapan. Harapan untuk melihat ‘anak malang yang terdidik liku hidup pahit yang panjang in, mampu pulang dengan ilmu sahih dan mampukah dijuluk ulama?’.
Bila mata ayah berkaca, rasa sebak memenuhi dada dan hati pilu tidak terkata. Harapan perlu dipenuhi, impian perlu diwujud dan janji pasti akan ditagih. Moga Alloh berikan kita kekuatan, ketabahan, dan laluan mudah dengan rahmat dan inayahNya dalam menempuh hidup.
Saya yakin anda juga punya Ayah. Ayah anda bagaimana? Itu tidak penting tapi yang pasti Ayah kita semua sama berharap dan impian yang sama untuk melihat kita Berjaya dan mampu berfungsi di lapangan ummah.
Dikutip dari Majalah MA
Diposting oleh
Ftr.Orwiantari
di
07.16
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook