Kamis, 11 Juni 2009

Ayah, Ketika Matanya Mulai Berkaca

DULU, KISAH SEBUAH MEMORI

Ayah! Nama yang cukup sinonim dengan ketegasan, kegarangan, keseriusan dan kemauan yang amat tinggi untuk melihat semua arahannya dipatuhi.

Saya juga tidak terlepas daripada semua itu hingga menyebabkan suatu masa saya amat tidak berpuas hati dengan undang-undang ‘mesti patuh dengan apa yang diarahkan tanpa kompromi’. Biasalah idealis jiwa remaja menyebabkan perasaan memberontak bila dipaksa.

Membesar dikampung menjadikan saya amat terbiasa dengan semua jenis permainan kotor. Sungai, hutan dan lumpur bagaikan sinonim dengan anak-anak kampong. Namun apa yang berlaku pada saya dan adik-beradik adalah sebaliknya.

Dunia kami hanyalah buku, rumah dan halaman rumah saja.sesekali kami dihalau ke surau dan apa yang paling meletihkan apabila kami adik-beradik sedari umur 5 tahun dipaksa untuk mengikuti pengajian Al-Quran tepat selepas dhuhur dan kelas pengajian ‘Fardhu Ain’ ...

pada waktu malam selepas maghrib di rumah guru yang berlainan. Kakak saya khatam Al-Quran umur 8 tahun. Semuanya menyiksa waktu itu.
Mesih terngiang di telinga saya bunyi libasan rotan Ayah apabila nampak saja saya atau adik lelaki saya yang hanya beda 2 tahun ke sungai atau bila kami coba protes karena penat dan membolos mengaji Al-Quran. Semuanya amat menyiksa jiwa kanak-kanak saya dan adik lantaran hidup terikat.

Terkadang hati saya dongkol terhadap ketegasan Ayah. Kadang saya curi waktu keluar mandi di sungai tanpa pengetahuan Ayah bersama kawan-kawan. Hati kanak-kanak mana yang tidak tertarik bila melihat kawan-kawan alin bebas berkubang di sungai selama yang mereka mau tanpa disekat.
Seingat saya, usai berkubang di sungai saya akan berjemur mengeringkan pakaian dan yang paling penting harus elakkan bertemu Ayah 3 atau 4 jam selepas mandi untuk menghilangkan mata merah tanda mandi di sungai.

Namun seingat saya, tetap saja terkadang membolos mengaji walau kadang-kadang kena rotan dengan guru Al-Qur’an. Yang tersemat hingga kini dalam ingatan saya ialah ‘lihat mata ini’ sambil rotan tepat menunjuk ke anak mata.
Saat itu Tuhan saja yang tahu betapa kecutnya hati dan takutnya hingga yang pasti saya akan menangis tanpa suara dan terus membaca dalam nada terisak-isak. Mata berkaca tapi takut mau mengeluarkan suara dan apa yang pasti saya tidak akan dipujuk.

Indahnya kenangan itu..
Masa itu saya melihat dari kaca mata kanak-kanak. Geram dan tidak puas hati, namun semuanya saya telan juga lantaran rasa hormat dan takut pada Ayah amat menebal.

KINI, KISAH SEBUAH REALITA
Ketegasan Ayah saya teruji dengan kedewasaan kami adik-beradik. Dalam umur yang menginjak umur ‘subsidi’ ketegasannya kian bertukar penyayang dan sensitive.

Kali pertama saya menyaksikan mata Ayah mulai berkaca apabila saya naik mimbar menyampaikanucapan mewakili pelajar. Sengaja saya tidak memberitahu bahwa saya ditunjuk menyampaikan ucapan tersebut.

Pada diri saya, ditunjuk mewakili pelajar menyampaikan ucapan tidak mengandung arti apa-apa dalam catatan pribadi lantaran saya sebenarnya anti protocol, anti majlis keramaian, anti protokoler dan ‘anti riya’. Pada saya apalah penghargaan kalau dibandingkan dengan hakikat ilmu yang ada. Malulah diri ini.
Lantaran terkejut mungkin, apabila saya berucap dipentas, mata Ayah berkaca. Kata peman saya yang hadir juga saat itu “ Paman tengok Ayah kamu menangis saat kamu berucap tadi dan paman pun menangis juga”.

Saya seakan tidak percaya lelaki yang amat tegas dalam mengekang kebebasan social hidup saya menangis dengan kejayaan kecil itu, padahal saya sebenarnya ingkar dengan kehendak Ayah saya yang tidak membenarkan saya belajar ilmu agama ketanah para nabi. Saat itu Ayah menyuruhku belajar di universitas dalam negeri.Kini ketegasan berubah harapan. Harapan untuk melihat ‘anak malang yang terdidik liku hidup pahit yang panjang in, mampu pulang dengan ilmu sahih dan mampukah dijuluk ulama?’.

Bila mata ayah berkaca, rasa sebak memenuhi dada dan hati pilu tidak terkata. Harapan perlu dipenuhi, impian perlu diwujud dan janji pasti akan ditagih. Moga Alloh berikan kita kekuatan, ketabahan, dan laluan mudah dengan rahmat dan inayahNya dalam menempuh hidup.

Saya yakin anda juga punya Ayah. Ayah anda bagaimana? Itu tidak penting tapi yang pasti Ayah kita semua sama berharap dan impian yang sama untuk melihat kita Berjaya dan mampu berfungsi di lapangan ummah.

Dikutip dari Majalah MA