Kamis, 11 Juni 2009

Ibu, Ketika Hatinya Mulai Berbisik

Ibu! Nama yang tidak lepas dapat dilepaskan dalam kotak memori setiap insane. Pertarungan nyawa dan ketabahan menahan kesakitan mengandung, melahir dan membasarkan anak-anak bukanlah perkara asing dalam catatan diari hidup seorang ibu. Ghalibnya itulah tugas yang tercatat sebagai seorang ibu yang benar-benar berfungsi dalam mendidik anak-anak. Benarkah?

Air mata, kelembutan, kasih sayang dan teman dimasa susah atau senang adalah sebuah nukilan khas yang boleh saya dedikasikan oleh ibu saya. Malah hemat saya juga tersemat utuh menyatakan semua ibu didunia ini punya rasa yang sama. ‘Atifah dan naluri keibuan ini adalah sunnatullah yang tercipta bermula daripada Hawa AS.

DULU, KISAH SEBUAH MEMORI

Masih tersemat utuh dalam ingatan saya betapa Ibu saya cukup mudah mengalir air mata. Semasa saya atau adik saya dirotan Ayah, Ibulah selalunya akan membela dengan aliran air mata.

Semasa kakak saya yang sulung melangkahkan kaki mengikuti suami selepas majlis akad dilangsungkan, Ibu saya menghantarkan dengan linangan air mata.
Masa itu saya cukup bingung kenapa Ibu saya menangis sedangkan kakak saya pergi secara terhormat mengikut suami. Masa itu saya buntu tidak berjawaban...



Rumah menjadikan anal-anak amat rapat dengan Ibu. Masih terbayang di benak saya hingga kini betapa kalutnya Ibu saya setiap pagi menyediakan sarapan sebelum saya dan adik-adik ke sekolah. Padahal saya diantara anak yang cukup susah untuk makan pagi, meski hanya minum. Yang pasti Ibu saya akan membawa minuman hingga ke pintu luar dan akan pastika saya mengambil sarapan walaupun dengan hanya seteguk air.

Masih terngiang kata-kata Ibu bila saya mulai nakal tidak mau bersarapan ‘Minumlah sedikit supaya cerdas di kelas’ atau kadang-kadang Ibu juga membujuk ‘ Tak baik itu, minum sedikit nanti tak berkah belajar’. Mungkin karena takut, saya selalunya akan memaksa diri minum juga walau seteguk walaupun apa yang pasti tabiat saya yang jarang bersarapan melekat hingga kini karena tiada lagi yang memaksa saya bersarapan.

Ketika abang ipar saya melanjutkan kuliah, sejurus kemudian lahir anak sulung menjadikan hidup mereka sekeluarga agak susah. Berbekal gaji yang pas-pasan dari mengajar, tidaklah cukup. Hidup menyewa rumah cukup mahal…, hati saya pilu dan kadang-kadang mata saya juga berkaca.

Pernah saya bergurau pada kakak saya untuk menaruh anak ke 1 di kampong biar diawat Ibu, saat melahirkan anak yang kedua. Reaksi yang saya terima hanyalah linangan air mata tanpa kata. Kakak saya menangis bila ada yang mau memisahkan dia dari anak-anak. Tekadnya biarlah susah macam mana sekalipun asalkan anak-anak tetap bersama.

Pernah suatu ketika seusai melahirkan anak kedua, selama 40 hari kakak saya ke klinik dengan menaiki bus umum bersama 2 anaknya. Yang sulung berumur dua tahun digandeng dan anak kedua yang baru berumur sebulan digendong, menaiki bus untuk ke klinik dalam kesesakan penumpang.

Hai amna yang tidak sedih bila mendengar kabar susah kakak sebegitu. Tidak mampu saya bayangkan betapa susahnya hidup mereka. Namun semua itu diceritakan setelah abang ipar saya tamat kuliah dan sekarang menjadi dosen di universitas dalam bidang Psikologi dan Pendidikan Anak. Sesungguhnya perlu saya iyakan, dibalik kehebatan seorang lelaki rupanya ada jasa insan tabah yang bernama istri.

KINI, KISAH SEBUAH REALITA
Pandangan saya bahwa Ibu saya hanya mampu menangis bila berpisah dengan anak-anaknya rupanya meleset. Saat saya naik ke mimbar untuk menyampaikan ucapan mewakili pelajar Ibu saya tidak menangis. Saat di lapangan terbang ketika mengantar saya ke tanah para nabi, Ibu saya juga tidak menangis.

Masih saya ingat senyuman dan pelukan terakhir tersebut, tidak menunjukkan reaksi sedih malah Ibu saya nampak tenang dan gembira. Apa yang terjadi sebaliknya, saya yang sebak dan mata saya sedikit berkaca sebagaimana Ayah. Lama saya berfikir kenapa Ibu menjadi tegas dan tidak menangis ketika mengantar saya ke Airport. Seminggu selepas itu saya menelepon Ibu saya dan saya langsung bertanya kenapa demikian jadinya. Ibu saya bercerita bahwa sejak 3 tahun sebelumnya beliau mempersiapkan diri menghadapi perpisahan ini… katanya lagi, kini tiada apalagi yang mau disedihkan karena hasratnya untuk melihat saya menjadi seorang berilmu kian nyata.

Ibu saya tidak menaruh harapan yang terlampau tinggi terhadap saya dan kakak-beradik lelaki yang lain dan tidaklah se’standart’ pada pandangan manusia lain. Katanya, beliau sudah puas hati sekiranya anak-anaknya berilmu, mampu menjadi imam di masjid dan mampu berbagi ilmu dengan orang kampung. Pada saya tanggung jawab itu susah dan harapan itu tinggi. Anda bagaimana?

Bila tegas Ibu mulai beraksi, bila hati ibu mula berbisik , tiada lagi deraian air mata dan kasih bertukar harap, tegas muali menutur kata. Kasih perlu dibuktimdan harapan perlu dipenuhi. Moga Alloh mudahkan jalan untuk kita… Salam dedikasi buat para Ibu dan bakal Ibu…

Di Kutip dari Majalah MA