Ibu! Nama yang tidak lepas dapat dilepaskan dalam kotak memori setiap insane. Pertarungan nyawa dan ketabahan menahan kesakitan mengandung, melahir dan membasarkan anak-anak bukanlah perkara asing dalam catatan diari hidup seorang ibu. Ghalibnya itulah tugas yang tercatat sebagai seorang ibu yang benar-benar berfungsi dalam mendidik anak-anak. Benarkah?
Air mata, kelembutan, kasih sayang dan teman dimasa susah atau senang adalah sebuah nukilan khas yang boleh saya dedikasikan oleh ibu saya. Malah hemat saya juga tersemat utuh menyatakan semua ibu didunia ini punya rasa yang sama. ‘Atifah dan naluri keibuan ini adalah sunnatullah yang tercipta bermula daripada Hawa AS.
DULU, KISAH SEBUAH MEMORI
Masih tersemat utuh dalam ingatan saya betapa Ibu saya cukup mudah mengalir air mata. Semasa saya atau adik saya dirotan Ayah, Ibulah selalunya akan membela dengan aliran air mata.
Semasa kakak saya yang sulung melangkahkan kaki mengikuti suami selepas majlis akad dilangsungkan, Ibu saya menghantarkan dengan linangan air mata.
Masa itu saya cukup bingung kenapa Ibu saya menangis sedangkan kakak saya pergi secara terhormat mengikut suami. Masa itu saya buntu tidak berjawaban...
Rumah menjadikan anal-anak amat rapat dengan Ibu. Masih terbayang di benak saya hingga kini betapa kalutnya Ibu saya setiap pagi menyediakan sarapan sebelum saya dan adik-adik ke sekolah. Padahal saya diantara anak yang cukup susah untuk makan pagi, meski hanya minum. Yang pasti Ibu saya akan membawa minuman hingga ke pintu luar dan akan pastika saya mengambil sarapan walaupun dengan hanya seteguk air.
Masih terngiang kata-kata Ibu bila saya mulai nakal tidak mau bersarapan ‘Minumlah sedikit supaya cerdas di kelas’ atau kadang-kadang Ibu juga membujuk ‘ Tak baik itu, minum sedikit nanti tak berkah belajar’. Mungkin karena takut, saya selalunya akan memaksa diri minum juga walau seteguk walaupun apa yang pasti tabiat saya yang jarang bersarapan melekat hingga kini karena tiada lagi yang memaksa saya bersarapan.
Ketika abang ipar saya melanjutkan kuliah, sejurus kemudian lahir anak sulung menjadikan hidup mereka sekeluarga agak susah. Berbekal gaji yang pas-pasan dari mengajar, tidaklah cukup. Hidup menyewa rumah cukup mahal…, hati saya pilu dan kadang-kadang mata saya juga berkaca.
Pernah saya bergurau pada kakak saya untuk menaruh anak ke 1 di kampong biar diawat Ibu, saat melahirkan anak yang kedua. Reaksi yang saya terima hanyalah linangan air mata tanpa kata. Kakak saya menangis bila ada yang mau memisahkan dia dari anak-anak. Tekadnya biarlah susah macam mana sekalipun asalkan anak-anak tetap bersama.
Pernah suatu ketika seusai melahirkan anak kedua, selama 40 hari kakak saya ke klinik dengan menaiki bus umum bersama 2 anaknya. Yang sulung berumur dua tahun digandeng dan anak kedua yang baru berumur sebulan digendong, menaiki bus untuk ke klinik dalam kesesakan penumpang.
Hai amna yang tidak sedih bila mendengar kabar susah kakak sebegitu. Tidak mampu saya bayangkan betapa susahnya hidup mereka. Namun semua itu diceritakan setelah abang ipar saya tamat kuliah dan sekarang menjadi dosen di universitas dalam bidang Psikologi dan Pendidikan Anak. Sesungguhnya perlu saya iyakan, dibalik kehebatan seorang lelaki rupanya ada jasa insan tabah yang bernama istri.
KINI, KISAH SEBUAH REALITA
Pandangan saya bahwa Ibu saya hanya mampu menangis bila berpisah dengan anak-anaknya rupanya meleset. Saat saya naik ke mimbar untuk menyampaikan ucapan mewakili pelajar Ibu saya tidak menangis. Saat di lapangan terbang ketika mengantar saya ke tanah para nabi, Ibu saya juga tidak menangis.
Masih saya ingat senyuman dan pelukan terakhir tersebut, tidak menunjukkan reaksi sedih malah Ibu saya nampak tenang dan gembira. Apa yang terjadi sebaliknya, saya yang sebak dan mata saya sedikit berkaca sebagaimana Ayah. Lama saya berfikir kenapa Ibu menjadi tegas dan tidak menangis ketika mengantar saya ke Airport. Seminggu selepas itu saya menelepon Ibu saya dan saya langsung bertanya kenapa demikian jadinya. Ibu saya bercerita bahwa sejak 3 tahun sebelumnya beliau mempersiapkan diri menghadapi perpisahan ini… katanya lagi, kini tiada apalagi yang mau disedihkan karena hasratnya untuk melihat saya menjadi seorang berilmu kian nyata.
Ibu saya tidak menaruh harapan yang terlampau tinggi terhadap saya dan kakak-beradik lelaki yang lain dan tidaklah se’standart’ pada pandangan manusia lain. Katanya, beliau sudah puas hati sekiranya anak-anaknya berilmu, mampu menjadi imam di masjid dan mampu berbagi ilmu dengan orang kampung. Pada saya tanggung jawab itu susah dan harapan itu tinggi. Anda bagaimana?
Bila tegas Ibu mulai beraksi, bila hati ibu mula berbisik , tiada lagi deraian air mata dan kasih bertukar harap, tegas muali menutur kata. Kasih perlu dibuktimdan harapan perlu dipenuhi. Moga Alloh mudahkan jalan untuk kita… Salam dedikasi buat para Ibu dan bakal Ibu…
Di Kutip dari Majalah MA
Pages
Kamis, 11 Juni 2009
Ibu, Ketika Hatinya Mulai Berbisik
Diposting oleh
Ftr.Orwiantari
di
07.33
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Ayah, Ketika Matanya Mulai Berkaca
DULU, KISAH SEBUAH MEMORI
Ayah! Nama yang cukup sinonim dengan ketegasan, kegarangan, keseriusan dan kemauan yang amat tinggi untuk melihat semua arahannya dipatuhi.
Saya juga tidak terlepas daripada semua itu hingga menyebabkan suatu masa saya amat tidak berpuas hati dengan undang-undang ‘mesti patuh dengan apa yang diarahkan tanpa kompromi’. Biasalah idealis jiwa remaja menyebabkan perasaan memberontak bila dipaksa.
Membesar dikampung menjadikan saya amat terbiasa dengan semua jenis permainan kotor. Sungai, hutan dan lumpur bagaikan sinonim dengan anak-anak kampong. Namun apa yang berlaku pada saya dan adik-beradik adalah sebaliknya.
Dunia kami hanyalah buku, rumah dan halaman rumah saja.sesekali kami dihalau ke surau dan apa yang paling meletihkan apabila kami adik-beradik sedari umur 5 tahun dipaksa untuk mengikuti pengajian Al-Quran tepat selepas dhuhur dan kelas pengajian ‘Fardhu Ain’ ...
pada waktu malam selepas maghrib di rumah guru yang berlainan. Kakak saya khatam Al-Quran umur 8 tahun. Semuanya menyiksa waktu itu.
Mesih terngiang di telinga saya bunyi libasan rotan Ayah apabila nampak saja saya atau adik lelaki saya yang hanya beda 2 tahun ke sungai atau bila kami coba protes karena penat dan membolos mengaji Al-Quran. Semuanya amat menyiksa jiwa kanak-kanak saya dan adik lantaran hidup terikat.
Terkadang hati saya dongkol terhadap ketegasan Ayah. Kadang saya curi waktu keluar mandi di sungai tanpa pengetahuan Ayah bersama kawan-kawan. Hati kanak-kanak mana yang tidak tertarik bila melihat kawan-kawan alin bebas berkubang di sungai selama yang mereka mau tanpa disekat.
Seingat saya, usai berkubang di sungai saya akan berjemur mengeringkan pakaian dan yang paling penting harus elakkan bertemu Ayah 3 atau 4 jam selepas mandi untuk menghilangkan mata merah tanda mandi di sungai.
Namun seingat saya, tetap saja terkadang membolos mengaji walau kadang-kadang kena rotan dengan guru Al-Qur’an. Yang tersemat hingga kini dalam ingatan saya ialah ‘lihat mata ini’ sambil rotan tepat menunjuk ke anak mata.
Saat itu Tuhan saja yang tahu betapa kecutnya hati dan takutnya hingga yang pasti saya akan menangis tanpa suara dan terus membaca dalam nada terisak-isak. Mata berkaca tapi takut mau mengeluarkan suara dan apa yang pasti saya tidak akan dipujuk.
Indahnya kenangan itu..
Masa itu saya melihat dari kaca mata kanak-kanak. Geram dan tidak puas hati, namun semuanya saya telan juga lantaran rasa hormat dan takut pada Ayah amat menebal.
KINI, KISAH SEBUAH REALITA
Ketegasan Ayah saya teruji dengan kedewasaan kami adik-beradik. Dalam umur yang menginjak umur ‘subsidi’ ketegasannya kian bertukar penyayang dan sensitive.
Kali pertama saya menyaksikan mata Ayah mulai berkaca apabila saya naik mimbar menyampaikanucapan mewakili pelajar. Sengaja saya tidak memberitahu bahwa saya ditunjuk menyampaikan ucapan tersebut.
Pada diri saya, ditunjuk mewakili pelajar menyampaikan ucapan tidak mengandung arti apa-apa dalam catatan pribadi lantaran saya sebenarnya anti protocol, anti majlis keramaian, anti protokoler dan ‘anti riya’. Pada saya apalah penghargaan kalau dibandingkan dengan hakikat ilmu yang ada. Malulah diri ini.
Lantaran terkejut mungkin, apabila saya berucap dipentas, mata Ayah berkaca. Kata peman saya yang hadir juga saat itu “ Paman tengok Ayah kamu menangis saat kamu berucap tadi dan paman pun menangis juga”.
Saya seakan tidak percaya lelaki yang amat tegas dalam mengekang kebebasan social hidup saya menangis dengan kejayaan kecil itu, padahal saya sebenarnya ingkar dengan kehendak Ayah saya yang tidak membenarkan saya belajar ilmu agama ketanah para nabi. Saat itu Ayah menyuruhku belajar di universitas dalam negeri.Kini ketegasan berubah harapan. Harapan untuk melihat ‘anak malang yang terdidik liku hidup pahit yang panjang in, mampu pulang dengan ilmu sahih dan mampukah dijuluk ulama?’.
Bila mata ayah berkaca, rasa sebak memenuhi dada dan hati pilu tidak terkata. Harapan perlu dipenuhi, impian perlu diwujud dan janji pasti akan ditagih. Moga Alloh berikan kita kekuatan, ketabahan, dan laluan mudah dengan rahmat dan inayahNya dalam menempuh hidup.
Saya yakin anda juga punya Ayah. Ayah anda bagaimana? Itu tidak penting tapi yang pasti Ayah kita semua sama berharap dan impian yang sama untuk melihat kita Berjaya dan mampu berfungsi di lapangan ummah.
Dikutip dari Majalah MA
Ayah! Nama yang cukup sinonim dengan ketegasan, kegarangan, keseriusan dan kemauan yang amat tinggi untuk melihat semua arahannya dipatuhi.
Saya juga tidak terlepas daripada semua itu hingga menyebabkan suatu masa saya amat tidak berpuas hati dengan undang-undang ‘mesti patuh dengan apa yang diarahkan tanpa kompromi’. Biasalah idealis jiwa remaja menyebabkan perasaan memberontak bila dipaksa.
Membesar dikampung menjadikan saya amat terbiasa dengan semua jenis permainan kotor. Sungai, hutan dan lumpur bagaikan sinonim dengan anak-anak kampong. Namun apa yang berlaku pada saya dan adik-beradik adalah sebaliknya.
Dunia kami hanyalah buku, rumah dan halaman rumah saja.sesekali kami dihalau ke surau dan apa yang paling meletihkan apabila kami adik-beradik sedari umur 5 tahun dipaksa untuk mengikuti pengajian Al-Quran tepat selepas dhuhur dan kelas pengajian ‘Fardhu Ain’ ...
pada waktu malam selepas maghrib di rumah guru yang berlainan. Kakak saya khatam Al-Quran umur 8 tahun. Semuanya menyiksa waktu itu.
Mesih terngiang di telinga saya bunyi libasan rotan Ayah apabila nampak saja saya atau adik lelaki saya yang hanya beda 2 tahun ke sungai atau bila kami coba protes karena penat dan membolos mengaji Al-Quran. Semuanya amat menyiksa jiwa kanak-kanak saya dan adik lantaran hidup terikat.
Terkadang hati saya dongkol terhadap ketegasan Ayah. Kadang saya curi waktu keluar mandi di sungai tanpa pengetahuan Ayah bersama kawan-kawan. Hati kanak-kanak mana yang tidak tertarik bila melihat kawan-kawan alin bebas berkubang di sungai selama yang mereka mau tanpa disekat.
Seingat saya, usai berkubang di sungai saya akan berjemur mengeringkan pakaian dan yang paling penting harus elakkan bertemu Ayah 3 atau 4 jam selepas mandi untuk menghilangkan mata merah tanda mandi di sungai.
Namun seingat saya, tetap saja terkadang membolos mengaji walau kadang-kadang kena rotan dengan guru Al-Qur’an. Yang tersemat hingga kini dalam ingatan saya ialah ‘lihat mata ini’ sambil rotan tepat menunjuk ke anak mata.
Saat itu Tuhan saja yang tahu betapa kecutnya hati dan takutnya hingga yang pasti saya akan menangis tanpa suara dan terus membaca dalam nada terisak-isak. Mata berkaca tapi takut mau mengeluarkan suara dan apa yang pasti saya tidak akan dipujuk.
Indahnya kenangan itu..
Masa itu saya melihat dari kaca mata kanak-kanak. Geram dan tidak puas hati, namun semuanya saya telan juga lantaran rasa hormat dan takut pada Ayah amat menebal.
KINI, KISAH SEBUAH REALITA
Ketegasan Ayah saya teruji dengan kedewasaan kami adik-beradik. Dalam umur yang menginjak umur ‘subsidi’ ketegasannya kian bertukar penyayang dan sensitive.
Kali pertama saya menyaksikan mata Ayah mulai berkaca apabila saya naik mimbar menyampaikanucapan mewakili pelajar. Sengaja saya tidak memberitahu bahwa saya ditunjuk menyampaikan ucapan tersebut.
Pada diri saya, ditunjuk mewakili pelajar menyampaikan ucapan tidak mengandung arti apa-apa dalam catatan pribadi lantaran saya sebenarnya anti protocol, anti majlis keramaian, anti protokoler dan ‘anti riya’. Pada saya apalah penghargaan kalau dibandingkan dengan hakikat ilmu yang ada. Malulah diri ini.
Lantaran terkejut mungkin, apabila saya berucap dipentas, mata Ayah berkaca. Kata peman saya yang hadir juga saat itu “ Paman tengok Ayah kamu menangis saat kamu berucap tadi dan paman pun menangis juga”.
Saya seakan tidak percaya lelaki yang amat tegas dalam mengekang kebebasan social hidup saya menangis dengan kejayaan kecil itu, padahal saya sebenarnya ingkar dengan kehendak Ayah saya yang tidak membenarkan saya belajar ilmu agama ketanah para nabi. Saat itu Ayah menyuruhku belajar di universitas dalam negeri.Kini ketegasan berubah harapan. Harapan untuk melihat ‘anak malang yang terdidik liku hidup pahit yang panjang in, mampu pulang dengan ilmu sahih dan mampukah dijuluk ulama?’.
Bila mata ayah berkaca, rasa sebak memenuhi dada dan hati pilu tidak terkata. Harapan perlu dipenuhi, impian perlu diwujud dan janji pasti akan ditagih. Moga Alloh berikan kita kekuatan, ketabahan, dan laluan mudah dengan rahmat dan inayahNya dalam menempuh hidup.
Saya yakin anda juga punya Ayah. Ayah anda bagaimana? Itu tidak penting tapi yang pasti Ayah kita semua sama berharap dan impian yang sama untuk melihat kita Berjaya dan mampu berfungsi di lapangan ummah.
Dikutip dari Majalah MA
Diposting oleh
Ftr.Orwiantari
di
07.16
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook